Pencurian Data Pribadi : Dari Bestie Jadi Enemy
Pencurian Data Pribadi : Dari Bestie Jadi Enemy
Penulis : Nabilla Kusnia Hayati, Regita Cahyani Putri
Hidup manusia masa kini tak pernah lepas dari teknologi. Maraknya perkembangan internet membuat manusia tanpa sadar membagikan hal yang paling berharga secara cuma-cuma.
Percaya atau tidak, hanya dibutuhkan potongan kecil saja dari informasi tentang diri kita untuk menguak aset-aset pribadi kita yang lain. Hal inilah yang disebut dengan data pribadi. Segala informasi yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi seseorang seperti nama, tanggal lahir, nama anggota keluarga, bahkan sampai informasi yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun merupakan privasi yang harus kita jaga baik-baik.
Apabila data pribadi kita telah dicuri, resiko yang kita hadapi bisa berlipat ganda. Mulai dari pencemaran nama baik, penipuan, ancaman, bahkan sampai teror dan cyberbullying.
Dari kacamata kriminologi, motif kejahatan pencurian data bisa dijelaskan dalam beberapa faktor. Hal ini sejalan dengan pendapat Riska Andi Fitriono, pakar kriminologi saat diwawancari di UNS. “Secara umum, motifnya bisa dibagi menjadi tiga faktor, yaitu kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan politik."
Kepentingan pribadi misalnya untuk mengancam, untuk penipuan. Yang sedang marak akhir-akhir ini, pencurian data KTP untuk daftar pinjaman online. Dengan menggunakan data milik orang lain, maka resiko yang akan dihadapi ketika nanti tidak sanggup membayar utang akan teralihkan ke si empunya data, bukan pelaku,” jelasnya.
Kasus kejahatan pencurian data diri tersebut sangat marak terjadi, tak terkecuali di kalangan mahasiswa. Seperti wawancara eksklusif pada korban pencurian data yang dialami Bima, salah satu mahasiswa di suatu universitas negeri di Indonesia saat diwawancarai melalui telepon. Bima mengaku lalainya ia dalam menjaga data pribadi didasari oleh perasaan serba salah.
Salah satu temannya, yang juga sebagai pelaku kasus ini, mengambil secara diam-diam KTP Bima saat ia sedang tidur. Bima merasa pelaku yang sudah berbaik hati menawarkan tempat tinggal saat ia pertama kali merantau seakan menjadi lampu hijau bagi pelaku bahwa Bima mengizinkan pelaku meminjam uang secara online memakai data pribadi Bima.
Kejahatan ini didasari oleh motif pelaku yang gemar memakai MiChat, salah satu aplikasi yang dikenal menjadi media transaksi prostitusi online. MiChat sendiri merupakan sebuah aplikasi yang berasal dari Singapura. Berdiri pada tahun 2018, aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 10 juta pengguna di Play Store dan menjadi popular di Indonesia mengalahkan negara asalnya.
Pada dasarnya aplikasi MiChat sama seperti WhatsApp dan Line yaitu bertujuan untuk mengirim pesan, menelepon, dan jika mengizinkan media, dapat pula mengambil foto/video. Hal tersebut juga mengarahkan kita untuk menemukan teman baru hingga bertemu di kehidupan nyata. Fitur tersebutlah yang seringkali dimanfaatkan untuk transaksi prostitusi secara online.
Korban yang berasal dari Banyuwangi tersebut berbicara mengenai pelaku yang tertipu transaksi di aplikasi MiChat.
Hal ini berasal dari pelaku yang mengupload foto data dirinya dan berujung dimanfaatkan oleh penipu MiChat. Oleh karena hal itulah, pelaku mau tidak mau harus membayar sejumlah tagihan uang.
“Nah, untuk menutupi itu, dia minta tolong aku untuk pinjol. Posisi saat itu aku serba salah karena aku nginep di dia, masa aku gak mau bantu,” ucap Bima.
“Karena KTP dia udah diblokir, jadi mau ngga mau aku ngasih izin KTP ku yang ternyata udah difoto saat aku tidur untuk daftar pinjol,” jelasnya.
Kerugian yang dialami korban adalah ia harus menalangi pinjaman yang jatuh tempo tiap minggu. “Setelah kejadian itu, pas pelunasan jatuh tempo dia ilang-ilangan, dan mau gak mau aku nalangin dulu, dia juga daftarin KTP ku ke aplikasi AkuLaku. Jadi yang diteror aku mulu,” jelasnya. Korban mengaku diteror dari pesan chat sampai telepon.
“Setiap hari pasti ada chat di WhatsApp spam gitu kata-katanya, kayak mau sampe berapa bulan lagi bos? Utang adalah tagihan di akhirat. Masih tidak mau membayar?” jelasnya lebih lanjut.
“Setiap hari pasti ada chat di WhatsApp spam gitu kata-katanya, kayak mau sampe berapa bulan lagi bos? Utang adalah tagihan di akhirat. Masih tidak mau membayar?” jelasnya lebih lanjut.
Korban sendiri sebenarnya telah sadar terhadap bahaya pencurian data diri. “Sebenernya emang udah aware dan hati-hati.Tapi berhubung (pelaku) itu temen deket, jadi gak bisa bertindak tegas,” ungkap Bima.
Setelah kejadian ini, Bima mengaku akan lebih berhati-hati terhadap data diri yang dapat merugikan diri sendiri maupun keluarga.
Tidak jauh berbeda dari Bima, Isfa (20) seorang mahasiswi suatu kampus di Jakarta juga menjadi korban pencurian data yang dilakukan oleh teman dekatnya. Menurut ceritanya, suatu hari pelaku tiba-tiba meminjam ponsel Isfa untuk mengunduh suatu aplikasi. Isfa yang hanya percaya dengan pelaku mengiyakan tanpa mengetahui pelaku juga mengambil KTP Isfa dari dompetnya.
“Aku gak tau kalo ternyata dia download AkuLaku terus dia nyuruh aku foto, ternyata itu buat verifikasi gitu fotonya sama gak kayak di KTP,” ujarnya. Sekitar dua minggu setelahnya, pelaku meminjam ponsel Isfa dan men-download KreditPintar dengan alasan sedang mengalami kesulitan finansial di keluarganya. “Aku mikirnya keluarga dia butuh duit buat bayar kontrakan 2 juta. Berhubung aku mahasiswi, jadi aku gak ada uang segitu. Makanya dia pinjem lagi sekitar 6 juta,” jelas Isfa.
Saat selang beberapa lama setelah kejadian, Isfa menganggap pelaku sudah membayar di aplikasinya. Namun, Isfa menjelaskan bagaimana tiba-tiba debt collector menemui tetangganya.
“Bayar dong utangnya! Nama dan alamatnya mbak kok, makanya saya nagih kesini,” ujar debt collector yang menodong Isfa tidak lupa membawa besi sebagai alat ancaman. Saat itu mau tidak mau Isfa harus membayar 1 juta untuk menutupi angsuran utang pelaku. Saat ditemui di rumahnya, Ibu pelaku tidak tau mengenai kelakuan anaknya yang selama ini hobi mengutang dan tidak membayar.
“Ibunya bingung mau bayar gimana karena ibunya cuma penjual nasi uduk dan gaya anaknya hedon banget,” jelas Isfa.
Diduga pelaku meminjam uang untuk keperluan gaya hidup dan membiayai pacarnya. Hal itu masih ia sangkal saat Isfa menanyakan utangnya beberapa hari kemudian. Namun, pelaku memblokir semua kontak Isfa sehingga mau tidak mau, Isfa harus merelakan uang sebanyak 6 juta rupiah. Kasus ini juga membuat nama Isfa buruk di bank dikarenakan track record yang sudah buruk dan sulit untuk melakukan pinjaman ke bank.
Adanya kejadian pencurian data diri seperti yang sudah dijelaskan di atas tentu membawa banyak kerugian bagi korban.
Ketika data diri korban disalahgunakan untuk dijadikan data sebagai peminjam di pinjaman online, tentu mau tidak mau dirinya harus turut bertanggungjawab dalam pinjaman tersebut. Lalu ketika tidak turun tangan untuk menyelesaikan masalah pinjam-meminjam, dan si peminjam asli tidak melakukan kewajibannya untuk membayarkan utang tersebut, maka bisa jadi data diri yang telah diberikan kepada situs pinjaman online itu akan disalahgunakan seperti disebarkan dan dijadikan tersangka karena tidak bertanggung jawab saat melakukan peminjaman.
Apabila situs pinjaman itu masih berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan dan berkaitan dengan BI Checking atau yang saat ini berganti nama menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), kemudian terdapat riwayat peminjaman yang belum terselesaikan, maka ketika akan mengajukan pinjaman di kemudian hari dirinya akan mengalami kesulitan pengajuan karena terdapat track record peminjaman yang buruk atau belum dibayarkan.
Selain itu, dalam kasus ini korban juga menjadi seringkali mendapat gangguan dari pengelola pinjaman onlineuntuk di spam call dan sebagainya yang sangat mengganggu kenyamanan korban. Ketika tidak segera membalas maka nomor darurat lain yang dijadikan penjamin juga akan di spam call. Bahkan ketika mendaftar di aplikasi pinjaman online dan melakukan ‘allow access contact’ maka bisa jadi kontak selain di nomor darurat akan dibombardir pesan dan dihubungi dengan cara serupa.
Kasus-kasus seperti ini dapat dikenakan pasal-pasal yang sudah diatur oleh pihak berwenang. Bagi pelaku yang menggunakan data pribadi orang lain untuk dijadikan peminjam di situs atau aplikasi pinjaman online dapat dikenakan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, spesifiknya Pasal 67: Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya akan dipidana paling lama empat tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar.
Bagi pengelola pinjaman online yang menyalahgunakan data yang diberikan kepada mereka dapat dikenakan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, spesifiknya adalah pasal 45 ayat 4 yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”.Kasus-kasus di atas bisa menjadi pelajaran untuk kita semua agar terus berhati-hati dalam menjaga data pribadi. Hal yang patut diperhatikan dari kasus kejahatan ini adalah banyaknya anggapan bahwa data pribadi bukanlah hal yang vital. Namun, bisa kita lihat apabila tidak berhati-hati sedikit saja, akibatnya bisa sangat fatal.
Comments
Post a Comment