Perlunya Inovasi Untuk Memenangkan Perdagangan Internasional
Perlunya Inovasi Untuk Memenangkan Perdagangan Internasional
Penulis : Bagaskoro (Pemimpin Perusahaan LPM Kentingan UNS)
Senin (6/12/21), Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo (Jokowi), dalam pembukaan Kongres DPP PA GMNI Tahun 2021 berpesan bahwa Indonesia tidak boleh memiliki watak follower, melainkan trendsetter atau selalu terdepan dan berpengaruh.
Dalam kesempatan itu pula, Jokowi menyampaikan “Untuk menjaga kedaulatan, kita harus memenangkan kompetisi di dalam negeri, kompetisi pasar global, pasar luar negeri, kita harus lebih unggul dari negara lain, dan kita harus mampu mendahului negara lain dalam dunia yang makin kompetitif sekarang ini. … Tidak mungkin Indonesia mendahului negara lain dengan tangga yang sama.”
Oleh karena itu, Jokowi melarang kita hanya menjadi follower di era globalisasi ini dan mendorong kita menjadi yang terdepan dan berpengaruh melalui berbagai inovasi untuk menciptakan tangga kita sendiri.
Pada 1961, Posner mengemukakan bahwa sebagian besar perdagangan di antara negara-negara industri didasarkan pada pengenalan produk baru dan proses produksi baru. Dalam pengenalan produk baru atau proses produksi baru memerlukan riset-riset yang nantinya menghasilkan sebuah inovasi. Untuk memacu setiap perusahaan dan negara berinovasi, hak paten atas setiap penemuan diberikan sementara. Hal tersebut memberikan perusahaan dan negara yang melakukan inovasi dalam waktu sementara dapat melakukan monopoli di pasar dunia.
Sebagai contoh, Henry Ford, pada akhir abad 19, membuat mobil untuk pertama kalinya. Mobil yang ia buat berhasil namun dalam produksinya memerlukan waktu dan sumberdaya yang mahal. Henry Ford yakin bahwa mobil merupakan kendaraan di masa depan. Ia memutuskan untuk memproduksinya secara massal dengan cara spesialisasi. Seorang tenaga kerja tidak harus mampu memproduksi mobil dari awal hingga akhir, cukup salah satu bagian mobil yang sudah terstandar dan pekerja lainnya menyelesaikan bagian lain. Kemudian baru digabungkan.
Henry Ford merupakan orang yang menemukan cara bagaimana produksi mobil dengan efisien. Ford menjadi mobil yang pertama kali diproduksi secara massal dan sementara waktu dapat melakukan monopoli pasar mobil hingga muncul merk dan pabrik mobil lainnya.
Apa yang dilakukan oleh Henry Ford merupakan contoh yang dimaksud dari Pidato Presiden untuk pembukaan Kongres DPP PA GMNI Tahun 2021. Henry Ford dengan ide cemerlangnya mendahului orang-orang pada masanya. Ia menciptakan tangganya sendiri untuk memenangkan pasar kendaraan pada masa itu yang masih mayoritas menaiki kuda.
Jangan Hanya Jadi Pengikut
Ucapan Jokowi pada Senin (6/12/21) bukanlah sebuah rumusan baru. Ada penelitian yang melatarbelakangi pesan yang disampaikan Jokowi dalam pidato tersebut. Dalam sebuah studi pada tahun 1967, Gruber, Metha, dan Vernon menemukan korelasi kuat antara pengeluaran riset dan pengembangan dengan kinerja ekspor. Menurut mereka, riset dan pengembangan sebagai proksi untuk memonopoli sementara keunggulan komparatif yang diperoleh perusahaan dan negara dalam produk baru dan proses produksi. Hal tersebut dibuktikan oleh Amerika Serikat. Berdasarkan Global Inovation Index 2019, Amerika Serikat menempati rangking 3 dunia dengan nilai 61.73. Dari inovasi tersebut, Amerika di tahun yang sama, berdasarkan data World Bank, mampu menghasilkan ekspor barang dan jasa senilai 2,52 triliun US$. Sedangkan, Indonesia yang menempati peringkat 87 dengan nilai 38.64 dalam Global Inovation Index 2019 di tahun yang sama hanya mampu menghasilkan ekspor barang dan jasa senilai 206,43 miliyar US$.
Beberapa ekonom seperti Prebisch, Singer, dan Myrdal percaya bahwa perdagangan internasional dan sistem ekonomi internasional saat ini menguntungkan negara-negara maju dengan mengorbankan negara berkembang. Jadi, Jika riset dan pengembangan di Indonesia dibiarkan seperti ini maka kita akan selalu menjadi pasar bagi para negara maju, baik pasar barang dan jasa maupun pasar tenaga kerja murah.
Rendahnya Riset di Indonesia
Pandangan pemerintah terhadap riset merupakan salah satu penyebab rendahnya riset di Indonesia. Menurut Veronika Taylor, Profesor Hukum dan Regulasi Australian National University (ANU) dalam sebuah wawancara oleh Tim Riset Katadata, “Pemerintah masih melihat riset dan pengembangan itu sebagai pengadaan barang dan jasa daripada investasi untuk menciptakan pengetahuan, … pola pikir yang masih birokratis juga membuat kebijakan dan perencanaan pendanaan penelitian menjadi kaku.”
Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset Nasional (Menristek/BRIN), dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa strategi pendanaan riset dalam negeri bergerak ke arah yang salah. Dikutip dari Bisnis.com, Bambang berpendapat selama ini anggaran belanja riset dan pengembangan dalam negeri didominasi oleh pemerintah sebesar 85,83 persen. Padahal, alokasi anggaran belanja riset hanya sekitar 0,28 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 yang berjumlah Rp14,8 triliun.
Bobroknya birokrasi dalam riset diperparah lagi dengan penunjukan Megawati Soekarno Putri menjadi dewan pengarah BRIN. Badan riset yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran ilmiah menjadi diragukan kebenarannya akibat masuknya tokoh politik menjadi dewan pengawas. Seharusnya, badan riset diisi oleh orang-orang akademik ataupun tokoh yang cemerlang dalam riset.
Fokus Pemerintah Indonesia yang membuka keran investasi asing selebar-lebarnya, khususnya foreign direct invesment atau investasi langsung, secara tidak langsung mematikan riset di Indonesia. Sebagian besar perusahaan luar yang membangun pabrik di Indonesia membawa teknologi dan teknisinya dari negerinya sendiri. Mereka mengambil keuntungan disini dengan upah tenaga kerja di Indonesia yang murah. Akibatnya, riset-riset anak bangsa kalah saing dengan teknologi luar dan bahkan tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Segera Bebenah
Foreign direct investment memang jalan pintas bagi Pemerintah Indonesia dalam membuka banyak lapangan pekerjaan di tengah bonus demografi yang akan dirasakan oleh Indonesia. Namun, investasi dalam bentuk pendirian-pendirian pabrik saja tidaklah cukup untuk memaksimalkan bonus demografi Indonesia untuk menjadi negara maju seperti Tiongkok lakukan dengan bonus demografinya. Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia hanya akan menjadi pasar tenaga kerja yang murah. Semakin kecil kesempatan para pekerja untuk meningkatkan taraf hidupnya dan pendidikan anaknya kelak.
Hal tersebut didasarkan oleh pandangan oleh beberapa ekonom seperti Prebisch, Singer, dan Myrdal, yang sempat disinggung sebelumnya, bahwa perdagangan internasional dan sistem ekonomi internasional saat ini menguntungkan negara-negara maju dengan mengorbankan negara berkembang. Keuntungan dari adanya pabrik-pabrik tersebut akan dibawa pulang ke negara asal investor dan dimanfaatkan, salah satunya, untuk mendanai riset. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang memang terjadi tetapi saat itu terjadi sudah ada teknologi yang lebih mutakhir. Akbitnya, teknologi yang sudah kita pelajari sudah usang dan kita perlu belajar kembali dari negara maju.
Indonesia harus segera bebenah dalam pengelolaan riset. Dimulai dari pembenahan pola pikir pemerintah dalam memandang riset. Lalu, birokrasi dalam riset harus dipermudah dan anggaran riset ditambah. Terakhir, BRIN harus menjadi lembaga riset yang bebas dari kepentingan politik. Pemerintah juga perlu mempersiapkan SDM yang terampil guna meningkatkan hasil riset. Peningkatan mutu SDM bisa dimulai dari perbaikan kualitas pendidikan. Sekali lagi, tidak mungkin Indonesia mendahului negara lain dengan tangga yang sama.
Comments
Post a Comment